Mas Tamvan on Facebook!

>

Pelayanan di Ujung Tanduk

blogger templates
Romo Stanislaus Sutopanitro (kiri)
ROMO Stanislaus Sutopanitro, pada mulanya, tidak begitu memperhatikan tahanan politik (tapol) G30S/ PKI yang ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM), Jakarta Pusat. Sebagai pastor tentara, setiap ia datang ke RTM, dari balik jeruji besi para tapol memperhatikannya seolah-olah meminta Romo Suto menyapa mereka.

Muncul rasa iba di benak Romo Suto. Ia lalu mengirim surat kepada Pangdam Jaya Mayjen Poniman untuk minta izin agar bisa melayani tapol. Poniman menganjurkan Romo Suto mengirim surat ke Panglima Kopkamtib, ketika itu Jenderal Soemitro.

Seminggu kemudian ia mendapat jawaban dan dipanggil menghadap Pangkokamtib. Ia diminta membuat proposal program pembinaan. Pangkokamtib setuju dan menunjuk Romo Suto menjadi pembina tapol di seluruh Indonesia.

Beberapa hari kemudian Romo Suto menghubungi Uskup Agung Semarang, Kardinal Yustinus Darmojuwono yang saat itu menjabat Uskup ABRI. Ia mengusulkan agar Kardinal bertemu Pangkokamtib. Kardinal bersedia datang ke Jakarta dan bertemu Jenderal Soemitro. Kardinal meminta izin agar Gereja Katolik bisa ikut melayani keluarga tapol.Setelah disetujui, maka 1971 dibentuklah Program Sosial Kardinal (PSK).

Sebelum PSK dibentuk, beberapa keuskupan lain diajak berkoordinasi di Wisma Samadi, Klender, Jakarta. Hadir wakil Keuskupan Agung Palembang, Semarang, Makassar, Keuskupan Tanjung - karang, Bandung, Malang, dan Surabaya. Saat itu disepakati PSK akan segera dibentuk di keuskupan mereka. Penderitaan keluarga tapol ketika itu sungguh berat. “Ketahuan sebagai keluarga tapol akan dianggap sebagai sampah masyarakat dan rumahnya dilempari batu atau tai,” katanya. Menurut catatan, PSK melayani kurang lebih 17.000 keluarga atau 80.000 orang di seluruh Jabodetabek. Mayoritas keluarga tapol yang dilayani bukan beragama Katolik.

Romo Suto dibantu para suster FMM, KSF, CB, Fransiskanes, para dokter dan sejumlah awam yang tergabung dalam PSK. Selain umat Katolik ada juga umat beragama Islam bernama Niniek Astuti. Tugas Niniek di PSK Nasional sebagai sekretaris. Setiap Rabu ia ikut memberikan konseling sekaligus menjadi staf administrasi pengobatan.

Dalam pelayanan ini Niniek merasa terharu dengan keadaan keluarga tapol. Masalah justru muncul ketika sang ayah pulang dari tahanan. “Banyak anak yang berantem dengan sang Ibu. Ketika bapaknya pulang, otomatis si ibu melayani bapaknya dan si anak cemburu,” ujar Hajah Niniek.

Menolong Bayi

Dalam pendampingan Romo Suto juga pernah memberikan pelayanan di Penjara Wanita Bukit Duri, Jakarta. Di tahanan, ada 39 anak, baik yang lahir di penjara maupun bawaan tapol. Suatu saat, Romo Suto melihat seorang ibu sedang diinterogasi. Ibu itu memiliki bayi berumur satu minggu. Di siang hari, bayi itu dijemur di lapangan dan menangis terus. Sang ibu diperiksa menghadap anaknya yang menangis kepanasan oleh teriknya matahari. Melihat peristiwa itu, Romo Suto tak tahan. Ia langsung menemui komandan penjara yang berpangkat Kapten. Sebagai Kolonel, Romo Suto memerintahkan komandan penjarauntuk mengakhiri pemeriksaan. “Itu tidak manusiawi. Cara pemeriksaan seperti itu sungguh tidak Pancasilais,” ujarnya.

Sejak menolong ibu itu, para tapol ramai-ramai menyerahkan anak mereka untuk dirawat oleh Romo Suto, yang kemudian menitipkan 39 anak itu kepada seorang bapak dan ibu tua di Tebet, Jakarta Selatan. Di rumah itu, ia juga ikut merawat mereka. Setiap malam, Romo Suto ikut mengganti popok dan membuatkan susu.

Setelah dua minggu, anak-anak dipindahkan ke panti asuhan milik suster-suster FMM di Bogor. Selama dua bulan anak-anak dirawat di tempat itu. Karena panti ditutup, Romo Suto mencari tempat penitipan lain. Ia lantas membawa 11 anak ke panti asuhan di Ganjuran, DI Yogyakarta dengan mengendarai mobil tentara sendirian.

Sesampai di Magelang, Romo Suto sakit. Ia meminggirkan mobil dan menggelar tikar di pinggir jalan. Sambil tiduran ia meminta anak yang paling besar mencari bantuan ke kantor polisi. Untung saja ada polisi yang mau membantu dan mengantar mereka ke tempat tujuan.

Kepercayaan

Romo Suto mengibaratkan hidupnya bagaikan “telur di ujung tanduk”. Ia harus bisa memupuk kepercayaan dari aparat keamanan, tapol dan keluarganya.Lewat kepercayaan itu ada beberapa tapol yang tertarik menjadi Katolik. Pelayanan di penjara Salemba kemudian dilanjutkan Romo Isak Doera (kemudian Uskup Emeritus Sintang-Red). Di penjara itu, Romo Isak Doera membaptis 200 orang yang sudah mendapat pelajaran agama selama dua sampai empat tahun dari Romo Suto. “Sayang pembaptisan itu hanya dicatat di lembaran folio tanpa keterangan yang jelas sehingga tidak tercatat di Paroki Kramat,” ujar Romo Suto.

Keinginan para tapol itu tidak hanya muncul di penjara Jakarta, tetapi ditemuai juga saat Romo Suta berada di Pulau Buru. Selama di Pulau Buru, Romo Suto melihat para tapol membuat perubahan di pulau itu. Ketika bertemu dengan penduduk asli, ada yang bertanya kepadanya, “Bagaimana caranya bisa menjadi tapol?” Pertanyaan itu memang aneh, tetapi rupanya penduduk asli terkesan dengan usaha para tapol dan ingin menjadi pandai seperti mereka.

Keinginan para tapol menjadi Katolik meningkat. Romo Suto berusaha selektif tidak menerima begitu saja, takut dipo litisir. Ia memberikan syarat berat sebe lum seseorang menjadi Katolik yakni ikut pelajaran agama selama tujuh tahun.

Operasi Mental

Di Yogyakarta juga ada pendampingan kepada para tapol dan keluarganya. Karya pastoral itu digerakkan oleh Romo Paul de Blot SJ yang saat itu menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia membuat gerakan Operasi Mental. Dengan bantuan mahasiswa kedokteran UGM, sejumlah aktivis mahasiswa, Romo de Blot mendirikan asrama untuk menampung keluarga tapol.

Romo de Blot mengakui, saat itu masih banyak orang belum berani membantunya karena takut dicurigai terlibat G30S. Untunglah ada beberapa mahasiswa dan beberapa lembaga swadaya seperti Dian Desa, Purba Danarta, dll yang membantu.

Salah seorang yang membantu Romo de Blot dalam program ini adalah JC. Tukiman Tarunasayoga. Selama kurang lebih dua tahun (1973-1974), Tukiman ikut memberikan pelayanan rohani kepada para tapol. Selama pendampingan, begitu Tukiman masuk ruangan, pintu utama akan dikunci petugas dan baru dibuka pada jam yang telah ditentukan.

Setelah dikunci, Tukiman membagi-bagikan tembakau kepada para tapol yang merokok. Selain tembakau, para tapol juga haus informasi. Tukiman selalu membawa guntingan koran. Ketika dibagikan, mereka berebut membaca koran meskipun sudah terlambat satu bulan. Sekitar 10-15 menit awal, para tapol akan sibuk membaca. Setelah itu mereka mulai bertanya tentang perkembangan di luar tahanan. “Setelah berbincang-bincang, barulah ‘pelajaran agama’ dimulai, membahas hal-hal yang terkait dengan iman dan Yesus,” ungkap Tukiman. Sebulan sekali, ia mengirim komuni dalam ibadat sabda.

Selain benteng Vredeburg, pelayanan pastoral juga dilakukan untuk tapol yang dititipkan di LP Wirogunan, Yogyakarta. Tukiman melayaninya setiap Selasa sore.

Pembebasan

Tahun 1975, para tapol Pulau Buru mulai dibebaskan. Menghadapi gelombang pembebasan Romo Suto menampung 76 mantan tapol pria dan wanita di Tebet, Jakarta Selatan sampai tahun 1982. Di rumah itu, para mantan tapol dibantu mencari keluarganya dan dilatih membuat mebel sebagai bekal usaha.

Selama pelayanan, Romo Suto merasakan mukjizat Tuhan karena tidak kekurangan dana. Pemerintah Jerman, Inggris, Perancis, Kanada, Australia dan Belanda berkenan membantu lewat KAJ maupun Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Sampai 1986, PSK masih menanggung mantan tapol yang tua dan cacat.

Tahun berikutnya bantuan mulai berhenti, namun jalinan persaudaraan Romo Suto dengan para mantan tapol tetap berlanjut sampai sekarang. Setiap Natal atau Paskah, ia selalu diundang oleh salah satu keluarga bekas tapol ke rumahnya. Sekitar 20 keluarga mantan tapol berkumpul.

A. Nendro Saputro

0 Response to "Pelayanan di Ujung Tanduk"

Posting Komentar