Mas Tamvan on Facebook!

>

IPPAK dalam Kenangan Alumni

blogger templates
Di IPPAK mahasiswa tidak sebatas belajar teologi, pastoral, Kitab Suci, ataupun katekese. Di sini mereka belajar memaknai hidup, mengasah spiritualitas serta kedewasaan diri.

IPPAK, singkatan dari Program Stu­di Ilmu Pendidikan dengan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik. Ketika didirikan, 1962, institusi ini bernama Akademi Kateketik Katolik Indonesia (AKKI). Pada 1971, nama AKKI berubah menjadi Sekolah Tinggi Kateketik (STKat) “Pradnyawidya”. Pada 1985 berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Filsafat Kateketik (STFK) “Pradnyawidya”. Kemudian, pada 1995, sekolah ini bergabung dengan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, sebagai salah satu fakultas dengan nama Fakultas Ilmu Pendidikan Agama. Dan, pada 1999, fakultas ini dilebur ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), menjadi salah satu program studi (prodi), dengan nama IPPAK.

Meski demikian, tidak semua mahasiswa yang menempuh pendidikan di prodi ini ingin menjadi guru agama atau katekis. Yosefina Maria Sara Lea Tunas, misalnya. Lulusan IPPAK, angkatan 2004, ini tertarik setelah membaca brosur yang dibagikan dalam acara promosi kampus di sekolah. Tiba-tiba saja, ia tertarik pada salah satu jurusan yaitu Pendidikan Teologi. “Pendidikan teologi belajar apa ya? Sepertinya tidak banyak orang yang mempelajari,” cerita lulusan SMA Regina Pacis Bogor ini.

Karena tertarik, lantas Sara menemui gu­ru BP yang kebetulan lulusan IPPAK. Sang guru kaget. Setelah pertemuan itu, ketertarikan Sara semakin menjadi, meski ia tidak bisa merumuskan alasannya. Kemudian, keinginan itu ia sampaikan kepada ibunya. Terjadilah ‘debat hebat’. Ibundanya menyayangkan keputusan Sara, dengan alasan nilai hasil belajar Sara tergolong bagus. Sara menempati ranking pertama di jurusan IPS. Ia juga mendapat beberapa tawaran beasiswa, termasuk dari Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Selain itu, sebelumnya Sara juga sudah bersepakat dengan ibundanya untuk melanjutkan kuliah di jurusan Hospitality di Glion University, Swiss. Semua sudah siap, mulai dari tes TOEFL, pendaftaran, dan asrama. “Bener-bener tinggal tunggu lu­lus, lalu berangkat ke sana,” ungkap Sara.

Kekukuhan hati Sara meluluhkan hati ibundanya. Saat itu, Sara sungguh ingin mengetahui lebih dalam tentang agama. Sara dibaptis tidak lama setelah lahir. “Tuhan yang bukain jalan, dan Dia sendirilah yang akan membukakan jalanku selanjutnya,” demikian Sara.

Sara berpendapat, belajar di IPPAK tidaklah harus menjadi guru agama. Ia merasa bahwa ilmu-ilmu yang ia pelajari bersifat universal dan dapat diaplikasikan dalam profesi apa pun. “Siapa pun, jika berminat mendalami agama, bisa juga kuliah di kampus ini, sebagaimana yang saya lakukan,” kata gadis kelahiran Jakarta, 26 Maret 1985 ini.

Selama kuliah empat tahun di IPPAK, Sara menyukai mata kuliah Sakramentologi, Kristologi, dan Kitab Suci. Tetapi, favoritnya adalah Katekese Audio Visual. Ia tertantang untuk menuangkan gagasan melalui simbol dan media. “Dan karena ilmu itu juga, setelah selesai dari IPPAK akhirnya aku memilih mendalami video dan film,” ujar Sara yang kini belajar pada Ju­rusan Digital Cinematography and Video Production, Art Institute of Seattle, Amerika Serikat ini.

Lain lagi kisah Lucia Sutiono, yang sempat mencecap pendidikan D1 STKat selama satu tahun. Ia tertarik, karena pengalaman sembuh dari penyakit parah di bangku SMA. Ia memutuskan untuk menjadi pelayan Tuhan dengan menjadi guru agama. Setelah lulus, ia pu­lang ke Kalimantan dan menikah. Sebenarnya, ia ingin melanjutkan S1 di sekolah yang sama. Karena tidak mungkin meninggalkan keluarga, ia mengurungkan niatnya. Ia memutuskan melanjutkan S1 di Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat. Bahkan, ia lulus S2 di universitas ini.

“Ilmu pendidikan, psikologi, pembinaan kepribadian, moral, bahkan praktik teater di STKat, berguna untuk saya sebagai dosen ekonomi,” ungkap Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mu­lia Singkawang, Kalimantan Barat ini.

Sara dan Lucia adalah contoh almuni yang tidak berkarya di dunia kateketik setelah lulus. Namun, sebagian besar alumni IPPAK menjadi guru/dosen agama baik di sekolah negeri atau swasta Katolik, penyuluh di Departemen Agama, tenaga pastoral di rumah sakit, tenaga pastoral tentara, dan katekis di keuskupan atau paroki. Beberapa alumni biarawan/biarawati menjadi provinsial di tingkat regional maupun sebagai pembina.

Pembinaan spiritualitas

Banyu Dewa memiliki kesan lain. Menurutnya, IPPAK konsisten sebagai lembaga pendidikan calon katekis. Ia mengaku, tidak sekadar mendapat ilmu dan keterampilan, tetapi juga spiritualitas dan kedewasaan diri.

Alumnus angkatan 1988 ini menu­turkan, pembinaan spiritualitas dilakukan melalui mata kuliah Spiritualitas I-VIII. Mata kuliah itu bersifat wajib, namun berbobot 0 SKS.

Letak kampus yang berada di pusat kota, menurut Banyu, menjadikan mahasiswa kritis dalam analisis situasi perkotaan dan perilaku sosial keagamaan yang menjadi medan pergulatan ilmunya.

Selain itu, mahasiswa juga dimanjakan dengan perpustakaan besar dan lengkap untuk digunakan sebagai sumber penggalian ilmu pengetahuan yang didukung dengan sarana media yang modern.

Afra Siowardjaja sependapat dengan Banyu. Menurutnya, kegiatan pembinaan pribadi seperti latihan analisis pribadi, pembiasaan refleksi, latihan rohani, meditasi, kontemplasi, rekoleksi tiap bulan, retret tiap tahun merupakan keunggulan STKat. Staf Ahli Komisi Kateketik KWI ini merasa bahwa pembinaan kepribadian dan spiritual itu sangat berguna. “Dulu, kami diminta untuk membuat refleksi harian di sebuah buku. Ju­ga waktu itu, ujian tidak pernah dijaga. Bahan ujian diberikan, dosen keluar ruangan. Dan, hebatnya, tidak ada yang menyontek,” kenang Afra.

Afra juga mengagumi kegiatan ekstraku­rikuler, seperti drama, latihan ekspresi diri, paduan suara, karena dilatih oleh orang yang kompeten. Para dosen juga kompeten di bidangnya. Afra menyebut antara lain Tom Jacobs SJ, Heselaars SJ, Ignatius Suharyo Pr, Bernhard Kieser SJ, St. Darmawijaya Pr, Groenen OFM, Wim van der Weiden MSF, Hardawiryana SJ.

Katekese Audio Visual

Ansel Alaman, staf ahli Fraksi PDIP di Komisi V DPR-RI, juga terkesan pada katekese audio visual di STFK. Saat itu, Ruedi Hofmann SJ-lah yang mengajar. Ruedi adalah perintis Studio Audio Visual (SAV) PUSKAT.

Ansel pernah mempraktikkan katekese audio visual di daerah asalnya, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Ia dibantu SAV PUSKAT membuat sarana katekese dengan mengangkat cerita rakyat. Sarana itu berupa buku yang memuat cerita bergambar lengkap dengan panduan diskusi. Bu­ku ini kemudian disebarkan ke paroki-paroki di Keuskupan Ruteng.

Menurutnya, foto, cergam, kaset suara, soundslide, dan video dapat memudahkan umat yang tinggal di kampung-kampung menangkap isi pewartaan. Tentu saja teknik yang tepat, yang sesuai, dan terutama menghargai umat, juga sangat penting. “Dalam proses ini jangan sampai fasilitator malah lebih banyak menggurui peserta,” ungkap Ketua Komkat Keuskupan Ruteng periode 1994-2001 ini.

A. Nendro Saputro

0 Response to "IPPAK dalam Kenangan Alumni"

Posting Komentar